Bab Najis

Secara bahasa najis adalah setiap sesuatu yang dianggap menjijikkan. Secara syar’i, yaitu segala sesuatu yang dianggap najis dan mencegah sahnya shalat, kecuali jika ada keringanan (rukhshah) seperti sedikit darah yang keluar dari tubuh dan najis yang tidak terlihat oleh mata. Dalam kondisi seperti ini, dimaafkan.

Pembagian Najis dan Cara Menghilangkannya
1. Najis mughaladhah (najis berat) yaitu: air liur anjing, babi, dan keturunan salah satunya. Alasan Disebut Mughaladhah, karena syariat memberikan hukum yang berat dalam cara penyuciannya.
Cara menghilangkannya, yaitu dibasuh tujuh kali setelah menghilangkan zat najis (ain). Salah satu basuhan menggunakan tanah, sebaiknya di awal.
Tiga metode mencampur tanah:

  • Mencampur tanah dengan air hingga keruh dan menuangkannya ke area najis. (Ini yang terbaik).
  • Menaburkan tanah ke area najis, lalu menyiramnya dengan air.
  • Menyiram dengan air terlebih dahulu, kemudian menaburkan tanah.

2. Najis mukhaffafah (najis ringan), seperti air kencing bayi laki-laki yang belum mencapai usia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI sebagai sumber nutrisi.
Alasan disebut mukhaffafah: Karena syariat meringankan cara penyuciannya. Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka air kencing tersebut menjadi najis mutawassithah.
Cara menghilangkannya, cukup memercikkan air hingga merata, disertai dengan keyakinan bahwa zat najisnya telah hilang.

3. Najis mutawassithah (najis sedang), yaitu semua najis selain najis anjing dan babi, seperti darah, kotoran manusia, dan air kencing selain yang memenuhi syarat mukhaffafah. Alasan disebut mutawassithah, karena syariat memberikan hukum yang pertengahan dalam cara penyuciannya.
Najis mutawassithah dibagi menjadi dua:

  • Najis hukmiyyah, najis yang tidak ada warna, bau, atau rasanya. Cara menghilangkannya, cukup dengan mengalirkan air ke atasnya.
  • Najis ‘ainiyyah, najis yang masih memiliki warna, bau, atau rasa. Cara menghilangkannya yaitu dibersihkan dengan air sampai hilang seluruh sifat najisnya (warna, bau, dan rasa).
    Jika najis hilang dengan satu kali basuhan, itu sudah cukup, namun disunnahkan menambah hingga dua atau tiga kali.

Jika najis tidak hilang dengan satu basuhan, wajib menambah basuhan hingga tiga kali. Jika najis masih ada sampai basuhan ke tiga, maka boleh menggunakan sabun atau bahan pembersih lainnya. Kondisi seperti ini disebut halah ta`assur (najis sulit dihilangkan). Maka hukumnya adalah:

  • Jika hanya tersisa warna atau bau: Tempat tersebut dianggap suci.
  • Jika tersisa rasa atau kombinasi warna dan bau, maka wajib menambah basuhan hingga bersih sempurna.

Jika najis susah dihilangkan, meski telah  menggunakan berbagai cara, maka dimaafkan. Kondisi ini disebut halah ta`adzdzur. Ibadah seperti shalat tetap sah dalam kondisi ini. Jika di kemudian hari najis bisa dihilangkan, wajib segera melakukannya.

Lalu bagaimana hukum air bekas cucian (Maa’ alGhusalah)?

Air bekas cucian dihukumi seperti air musta`mal, yaitu suci dalam dirinya, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci.

Syarat-syarat kesuciannya:
1. Air harus mengenai najis secara langsung (air yang disiram ke tempat najis, bukan sebaliknya).

2. Air harus terpisah dari benda yang dicuci.

3. Air tidak berubah sifatnya (warna, bau, atau rasa). Jika berubah, maka air tersebut menjadi najis.

4. Jumlah air sedikit. Jika air banyak dan tidak berubah, tetap dianggap suci.

5. Berat air tidak boleh bertambah secara signifikan setelah pencucian (kecuali karena penyerapan oleh kain atau kotoran yang bukan najis).

6. Benda yang dicuci harus menjadi suci. Jika najis belum hilang, air bekasnya dianggap najis.

Contoh kasus pada mesin cuci:

  • Mesin otomatis (otomatis penuh), tidak masalah, karena mesin membilas pakaian dengan air suci setelah membersihkannya.
  • Mesin manual atau semi otomatis, setelah mencuci, najis pada pakaian menjadi najis hukmiyyah. Wajib membilas dengan air suci dalam proses terakhir (disebut tahap tashfiyah atau tathhir). Dalam tahap ini, air harus disiram dari atas pakaian agar dianggap air “warid” (air yang datang ke najis).

 

Kontributor: Ustadz Opik Taopikoruhman – Area Spiritual